Saturday 2 September 2017

Mencoba Nge-Mojok: Antara Guru, Siswa, dan Sikap



Ada satu situs yang saat ini jadi favorit gw, selain allkpop, koreaboo, kkuljaem, netizzenbuzz dst yang berbau korea itu: mojok 
Dan sebagai penulis yang ngaku nasional bidang per-LKS-an, gw pengen dong mencoba menjadi kontributor. Akhirnya tanggal 27 Agustus, gw mencoba mengirimkan essay. Dan sekarang sudah tanggal 3 September belum ada tanda2 naskah tersebut dimuat. Yah, sesuai dengan term and condition-nya mojok, kalo seminggu belum tayang artinya naskah tidak masuk seleksi. FINE MOJOK FINE! Gw akan bikin Mojok tandingan... di blog pribadi gw. Sayang kan artikel/naskah nomine Pulitzer ini hanya teronggok di laptop? Mending buat ngisi blog kan? 
Dan untuk mojok, tunggu naskah gw selanjutnya yang tidak kalah absurb-nya dengan postingan2 lain di sini *mulai lebay, mulai alay*
Here we goo....


Peristiwa  di hari Kamis dan Jumat Minggu ini berhasil membuat saya galau. Membuat gak khusyuk menonton drama korea dan agenda nongkrong sore agak kurang maksimal. Ya, pemirsa, saya masih  keingetan dengan sikap beberapa siswa di kelas pada saat pembelajaran mengenai Pelanggaran HAM  pada hari Kamis.
Beberapa siswa yang ketawa-ketiwi saat membahas mengenai perlakuan yang terjadi pada Munir membuat saya geleng-geleng kepala. Saat itu saya menggunakan metode pembelajaran aktif *ehem*, yaitu meminta siswa membuat majalah dinding mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Tujuan saya gak muluk-muluk, dengan mencari informasi di internet kemudian menyusunnya menjadi mading yang menarik pembelajaran ini akan menarik. Daripada saya yang menjelaskan alias ceramah sampai kering tenggorokan dan diiringi peristiwa siswa yang menguap mlulu? Not cool kan? Dan tentu saja tidak sesuai dengan nawacita K13 Pak Muhadjir Effendy *salim sama mendikbud*
Menarik kan pembelajarannya? Bikin mading kemudian melakukan kunjungan ke stand mading-mading tiap kelompok sekaligus memberikan pertanyaan yang  nantinya akan dipresentasikan. Menurut saya metode itu lumayan menarik daripada sekadar berceramah, kecuali ceramah ala Raditya Dika atau para komika terkenal Indonesia. Nah, dengan pembelajaran yang menarik nan menyenangkan macam itu kok ya ada juga yang membuat ubun-ubun saya panas kebul-kebul!
“Siapakah bapak dari Munir?”
INI APAAA GUSTI??? Pertanyaan macam apa itu, nak? Jangan kebanyakan nonton Waktu Indonesia Bagian Becanda Pleaseee.
Duh Gusti. Jawaban apa yang akan bu guru beri ketika dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak, nak??
Belum lagi kalo entah kapan Pak Jokowi datang berkunjung ke sekolah dan menawarkan sepeda kepada para siswa yang berhasil membuat pertanyaan untuk beliau.
“Mengapa Munir memesan jus jeruk?”
“Apakah makanan kesukaan Wartawan Udin?”
*bu guru meng-imbles-kan diri ke bumi*
Boleh becanda, boleh santai tapi tolong dong sesuaikan dengan situasi dan kondisi. Jangan bikin kasus pelanggaran HAM jadi lelucon dong, nak.
Penilaian dalam K13 yang lumayan ribet nan mbulet, utamanya yang PPKn dan Agama memungkinkan siswa yang cengengesan saat pembelajaran mendapat nilai minus. Sikap cengengesan, ketawa-ketawa dalam pembelajaran menunjukkan tidak tercapainya Kompetensi Dasar 2.1, yaitu tidak adanya rasa peduli terhadap hak asasi manusia berdasarkan perspektif pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara *ehem*.
Peristiwa yang juga tidak kalah nggaplekinya terjadi di Jumat Barokah, ketika dengan penuh semangat dan diiringi lagu Indonesia Raya 3 stanza mengingatkan siswa untuk memasukkan baju ke dalam celana, saya disambut jawaban cengengesan cenderung membuat pengen meratap di pojokan.
Loo, nak keinginan ibu guru ini sederhana, biarkan ibu bisa membedakan mana pelajar mana sosok yang sedang berusaha tampil keren-dengan-mengeluarkan-baju. Setidaknya tidak awut-awutan lah. La kok ini disambut dengan ucapan yang menggores hati bu guru yang rapuh ini? Apa salah ibu nak? Apa naaak? *lebai*
Ucapannya apa? Cukup saya, siswa, dan Tuhan yang tahu. Hehe. Intinya ucapannya tidak seharusnya keluar ketika dibilangi dengan baik-baik. Membuat saya sedih, melow, dan ingin kembali menggerakkan perekonomian di pusat perbelanjaan.
Karena itulah, perlu saya utarakan kembali bahwa mendapat nilai C dalam sikap menyebabkan tidak naik kelasnya seorang siswa. Tapi, tenang memberikan nilai C tidak semudah menusuk pentol di paman penjual pentol yang nongkrong di bawah pohon Waru. Meski termasuk guru baperan, sensitif tak jelas, saya tetap berusaha mengamalkan anjuran baik Mohammad Sholekhudin dalam Filosofi Santri Agar Tak Mudah Jadi Pembenci
Ketika banyak yang membenci karena anjuran untuk bersikap lebih hati-hati dan menegakkan peraturan, ibu guru rela nak. Insyaallah rela. Tapi bukan rela seperti lagunya Armada, asal kau bahagia. 

Emm...
Iya sih, kalo dibaca2 lagi, ni naskah lebih nyebelin dari sikap siswa. Gw merasa tidak suka dengan label cengengesan itu sendiri. Gw yang salah nih, sampai siswa mengutarakan pertanyaan out of the box. Tapi kok ya miris, pelanggaran ham dianggap hal yang main2. Tapi kok gw berani mengatakan mereka main2? Kok terlalu dangkal ya? Mana membawa nilai pulak.
Duh, Gusti Nu Agung, pangapurane ... 
*kembali membaca SOP K13*

No comments: